Berikut adalah sosok wanita-wanita yang memancarkan aura kecantikan luar dalam
Dewi Sri
Pada suatu zaman, tersebutlah sebuah taman indah nan damai yaitu “Taman Sorga Loka”. Ditempat tersebut berdiam seseorang yang bernama Sunan Ambu (sosok yang lebih di kenal sebagai sunan ibu), perempuan penenunggu kahyangan yang sedang menunggu kehadiran “Dewi Sri Pohaci Long Kancana”. Dewi Sri melaporkan bahwa di di suatu tempat di muka bumi yang bernama “Buana Panca Tengah” belum terdapat “Cihaya” berupa sesuatu kebutuhan hidup umat manusia. Mendengar hal tersebut, Sunan ibu memerintahkan agar Dewi Sri berangkat ke Buana Panca Tengah.
Dewi Sri tidaklah berkeberatan untuk berangkat ke Buana Panca Tengah asalkan kepergiannya ditemani “Eyang Prabu Guruminda”. Permohonan Dewi Sri pun dikabulkan oleh Sunan Ibu. Sebelum berangkat meninggalkan Sorga Loka, Eyang Prabu Guruminda duduk bersemedi memohon petunjuk Hiang Dewanata. Setelah selesai semedi dan memperoleh petunjuk, dengan kesaktiannya yang hanya dalam waktu sekejap, wujud Dewi Sri berubah bentuk menjadi sebuah telur.
Setelah semua persiapannya selesai, maka berangkatlah Eyang Guruminda mengiring Dewi Sri dengan tujuan Negara Buana Panca Tengah. Dewi Sri yang berwujud sebagai telur, disimpan dalam sebuah kotak bernama “Cupu Gilang Kencana”. Prabu Guruminda setelah beberapa lama terbang ke setiap penjuru utara-selatan-barat-timur yang pada akhirnya pada suatu ketika Cupu Gilang Kencana terbuka dan “telur” di dalamnya pun terjatuhlah.
Sudah menjadi kehendak yang maha kuasa, telur tersebut jatuh di suatu tempat yang mana tempat itu dihuni oleh “Dewa Anta”. Dewa Anta yang mengetahui di tempat bersemayamnya ada telur, maka telur itu pun dipelihara nya. Setelah beberapa waktu lamanya, telur tersebut menetas dan lahirlah seorang putri yang sangat cantik yang tiada lain adalah Dewi Sri.
Dalam kedewasaannya dengan paras yang sangat cantik, maka tersiar berita ke seluruh negri akan kecantikan dan sang putri, dan berdatanganlah raja-raja kerajaan dengan maksud akan meminangnya sang putri untuk dijadikan permaisuri.
Dewi Sri memperoleh pinangan dari para raja, tetapi Dewi Sri tidak merasa senang karena bila ia menerima pinangan berarti ia telah mengingkari tugas dibebankan kepadanya. Kepada setiap raja pun telah dijelaskan bahwa maksud kelahirannya itu bukan semata-mata untuk mencari bakal suami, namun untuk melaksanakan tugas dari Sunan Ibu di Taman Sorga Loka yaitu untuk menganugerahkan “CIHAYA” kepada negara gelar Buana Panca Tengah.
Namun, walaupun penjelasan telah disampaikan, pinangan terus-menerus berdatangan dan oleh karenanya pada akhirnya Dewi Sri menderita tekanan bathin dan jatuh sakit. Semakin lama, sakit yang di derita Dewi Sri semakin parah dan tibalah suatu saat Sang Putri menyampaikan amanat terakhir “Bila tiba saat aku meninggal dan bila kelak aku sudah disemayamkan, akan terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku”. Dan akhirnya dengan kehendak yang Maha Kuasa, Dewi Sri pun meninggal dunia.
Benarlah apa yang diamanatkan oleh Sang putri akhirnya menjadi kenyataan. Dikisahkan pada suatu hari, ada kakek-nenek yang sedang mencari kayu bakar dan sekedar mencari bahan makanan untuk bekal hidupnya berdua.
Suatu ketika kakek dan nenek mendapatkan sebuah pusara yang telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang belum pernah ditemui dan dilihatnya selama ini. Pada bagian kepala tumbuh pohon kelapa, pada bagian tangan tumbuh pohon buah-buahan, pada bagian kaki tumbuh pohon ubi, sedangkan pada bagian tubuhnya tumbuh pohon aren (enau=gula) dan suatu tumbuhan yang sangat aneh dan belum pernah selama ini kakek dan nenek menemukannya, dan baru kali ini melihatnya. Adalah serangkai tumbuhan berdaunan bagus berbuah masih hijau berbulu bagus pula.
Maka muncul niat kakek-nenek untuk memelihara tumbuhan aneh tersebut dan dibersihkannya pusara dan sekitar tumbuhan tersebut. Demikian dari hari ke hari minggu ke minggu dengan penuh kesabaran dan ketekunan tumbuhan itu dipeliharanya. Tak terasa waktu berjalan terus hingga menjelang bulan ke 5, buah yang hijau tadi telah penuh berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan lagi pula ingin mengetahui sampai di mana dan apa sebenarnya tumbuhan yang aneh itu. Setelah beberapa lama menjelang bulan ke 6 ditengoknya kembali tumbuhan tersebut dan ternyata butir-butir buah tadi berubah menjadi menguning dan sangat indah nampaknya.
Setelah keduanya termenung maka timbullah niat untuk memetiknya. Sebelum dipetik buah tadi dicicip terlebih dahulu dan ternyata isinya putih dan terasa manis. Kakek dan nenek menyiapkan dupa beserta apinya untuk membakar kemenyan untuk memohon izin kepada “Hiang Widi”. Selesai upacara membakar kemenyan, ditebaslah tumbuhan yang dimaksud dan alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu karena pada tangkai yang dipotong tadi mengeluarkan cairan bening serta harum, namun bagi kakek dan nenek tidaklah menjadi penyesalan karena disadarinya bahwa kejadian ini sudah menjadi kehendak yang kuasa.
Namun timbul kemudian niatnya untuk menanamnya kembali, dan butir-butir buah tadi ditanamnya kembali sekitar pusara Dewi Sri.
Keajaibannya pun terjadi kembali karena dengan seketika itu pula butir-butir tadi tumbuh dan sudah berbuah kuning pula. Kakek dan nenek langsung menebasnya dan seketika itu pulalah ditaburkannya butir-butir kuning itu demikian terus kejadian itu terulang sehingga terkumpullah ikatan butir-butir buah kuning banyak sekali.
Atas kejadian ini kakek dan nenek menjadi bingung karenanya, memperoleh hasil sangat berlimpah dalam waktu sekejap. Dari asal buah setangkai. Lagi pula apa yang mereka miliki belum tahu apa dan buah apa gerangan terlebih namanya pun belum ada.
Demikian, karena kakek dan nenek dalam kebingungan bahkan belum mendapat keputusan untuk memberinya nama. Sehingga tiba-tiba nenek mengusulkan bahwa berhubung kakek dan nenek selalu bingung tidak bisa ada keputusan dan sukar untuk memilih, yang dalam bahasa Sunda disebut “paparelean”, maka disebutlah buah itu dengan nama “Pare” (padi).
Demikian lah akhir cerita ini. Hingga sekarang di tatar Sunda yang dimaksud sebagai Nagara Buana Panca Tengah, hingga kini tumbuhan serta buahnya yang dimaksud disebut “PARE”, yang merupakan cita-cita Dewi Sri Pohaci Long Kancana untuk kelengkapan hidup yang disebut “CIHAYA”. Karenanya orang-orang selalu menyebut Dewi Padi adalah Dewi Sri.
Kanjeng Ratu Kidul
Kepercayaan masyarakat terhadap Penguasa Laut Selatan sampai sekarang masih ada. Tapi ada beberapa versi menyangkut legenda itu. Di Jawa Barat, Penguasa Laut Selatan adalah seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kandita. Karena sesuatu hal, putri cantik ini meninggalkan keraton kemudian bertapa di Laut Selatan.
Cerita versi Jogyakarta lain lagi. Penguasa Laut Selatan, yang dikenal sebagai Ratu Kidul adalah Dewi Retno Dumilah, seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperi seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperisteri Panembahan Senopati, penguasa Kerajaan Mataram pertama.Dari hasil perkawinannya melahirkan dua orang putera yakni Raden Rangga dan Puteri Pembayun. Raden Rangga dikenal sakti mandraguna, tapi memiliki watak ugal-ugalan. Sementara Puteri Pembayun dijodohkan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Namun, perkawinan itu hanya sebagai rekayasa untuk menundukkan Ki Ageng Mangir yang mbalela (membangkang) terhadap Mataram. Malah dituduh akan melakukan agresi segala. Laut Selatan yang berada di wilayah Jogjakarta meliputi Parangtritis dan Parangkusumo. Hingga sekarang masih dipercaya sebagai sebuah keraton kajiman. Sebagai penguasa keraton tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul, yang tidak lain Dewi Retno Dumilah. Dalam kehidupan sehari-hari di keraton, Kanjeng Ratu Kidul memiliki seorang abdidalem keparak puteri yaitu Mbok Loro Kidul. Dikenal sebagai salah seorang abdidalem yang sangat disayangi.
Bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul masih dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya meluas sampai hingga ke seluruh pesisir lautan nusantara.
Ratu Shima
Kalau disebutkan di sejarah yang kita pelajari bahwa Putri Shima
berasal dari kerajaan Kalingga kuranglah tepat, karena kerajaan beliau
bernama Kerajaan Medang Kamulyan. Medang Kamulyan sendiri sudah ada dari
sejak awal-awal peradaban. Berdasarkan penanggalan dari Jangka
Jayabaya, tercatat Medang Kamulyan sebagai kerajaan induk Nuswantara itu
ada di jaman Kala Brawa di jaman besar Kali Swara dengan raja-rajanya
Sang Maha Prabu Birawa dan Sang Maha Prabu Kandiawan. Terus di jaman
Kala Rwabara masih di jamahn besar Kali Swara tercatat nama raja-raja
Sang Maha Prabu Wisnupati, Sang Maha Prabu Sindula, Sang Maha Prabu
Cingkaradewa, Sang Maha Prabu Wisaka …dan di masa-masa akhir Medang
Kamulyan dipimpin oleh Sang Maha Ratu Shimahawan.
Kakek dari Putri Shima adalah Sang Maha Prabu Sri Mahapunggung yang menjadi Maha Raja di Kerajaan Purwacarita (yang letaknya di lereng Gunung Lawu ke arah timur). Sri Maha Punggung mempunyai 3 orang putra, yang tertua bernama Kudun-Ga, yang kedua adalah Kalin-Ga dan yang ketiga adalah Badu-Ga. Dan yang mendapatkan wahyu keprabon kemudian adalah putra yang kedua yang bernama Kalin-Ga. Kudun-Ga menempati Kadipaten Jambu Dwipa [sekarang pulau Kalimantan), Kalin-Ga menempati Kadipaten Medang Kamulyan (waktu itu berstatus Kadipaten, dan nama beliau diabadikan untuk penamaan ibu kota negara), dan yang bungsu Badu-Ga menempati Kadpaten Medang Prawa [sekarang di daerah Cilangkap].
Kakek dari Putri Shima adalah Sang Maha Prabu Sri Mahapunggung yang menjadi Maha Raja di Kerajaan Purwacarita (yang letaknya di lereng Gunung Lawu ke arah timur). Sri Maha Punggung mempunyai 3 orang putra, yang tertua bernama Kudun-Ga, yang kedua adalah Kalin-Ga dan yang ketiga adalah Badu-Ga. Dan yang mendapatkan wahyu keprabon kemudian adalah putra yang kedua yang bernama Kalin-Ga. Kudun-Ga menempati Kadipaten Jambu Dwipa [sekarang pulau Kalimantan), Kalin-Ga menempati Kadipaten Medang Kamulyan (waktu itu berstatus Kadipaten, dan nama beliau diabadikan untuk penamaan ibu kota negara), dan yang bungsu Badu-Ga menempati Kadpaten Medang Prawa [sekarang di daerah Cilangkap].
Wilayah kekuasaan Medang Kamulyan adalah mulai dari Tegal –
Pekalongan menyurusi ke arah timur ke Gunung Muria sampai ke daerah Pati
dan Rembang ke utara sampai Karimun Jawa, jadi pada saat itu pulau Jawa
dan Karimun Jawa masih menyatu. Kraton pemerintahannya ada di
tengah-tengah persis antara Gunung Muria dengan Karimun Jawa sekarang.
Ada sebuah bisikan yang masuk ke Prabu Kalin-Ga waktu itu bahwa kelak
pada masa putrinya akan berkuasa maka di akhir hayatnya akan ada maha
pralaya yang akan menyurutkan dan menenggelamkan Kerajaan Medang
Kamulyan. Maka kemudian Prabu Kalin-Ga membangun Kraton kediaman (kraton
tempat tinggal) di lereng Gunung Muria yang menghadap ke Utara, ya
daerah Keling itu sekarang, biarpun hanya kraton tempat tinggal tapi
kemudian Prabu Kalin-Ga lebih sering menjalankan roda pemerintahan dari
kraton kediamannya.
Putri Prabu Kalin-Ga yang bernama Shimahawan ternyata yang mendapatkan wahyu keprabon, beliau juga mendapatkan wahyu Sang Hyang Prajna Paramitha, sehingga setelah Prabu Kalin-Ga lengser keprabon maka Shimahawan-lah yang menjadi Maha Ratu di Medang Kamulyan.
Sang Maha Ratu Shimahawan sangatlah cantik, pintar, berwibawa, sangat tegas dan sangat sakti …tak heran di jaman Ratu Shimahawan Kerajaan Medang Kamulyan dapat menyatukan Nuswantara di seluruh bumi ini menjadi wilayah kekuasaannya, maka Medang Kamulyan juga disebut sebagai Kerajaan yang Salaka Nagara (Salaka Nagara adalah seluruh jagad, penyebutan untuk Kerajaan yang secara absolut menguasai seluruh wilayah di bumi ini, selain Medang Kamulyan yang tercatat Salaka Nagara adalah Medang Gili/Gilingaya dan Medang Gana). Bahkan beberapa penamaan sansekerta yang masih banyak dapat kita temui di wilayah Rusia, Eropa Utara dan Amerika Utara terjadi pada masa kejayaan Ratu Shimahawan ini.
Kejujuran dan ketertiban adalah satu hal yang sangat ditegakkan pada masa itu, maka pada suatu masa …untuk menguji kejujuran rakyatnya, Ratu Shimahawan menaruh pundi-pundi emas di jalanan untuk melihat sebagaimana rakyat Medang Kamulyan akan ketergiuran pundi emas tanpa pemilik itu. Tak dinyana …pundi emas memang tidak hilang dan masih utuh, tapi bergeser letaknya dari penempatan semula.
Maka dikumpulkanlah seluruh Tumenggung dan punggawa Kerajaan, serta bertanyalah Ratu Shimahawan tentang siapakah yang menggeser pundi-pundi emas itu untuk dapat dicaritahu siapakah pelakunya. Pangeran Pati [putra mahkota] yang putra dari Ratu Shimahawan secara ksatria maju ke depan dan berkata …bahwa dialah yang secara tidak sengaja pada saat melewati jalan tersebut menginjak pundi-pundi emas itu sehingga letak pundi emas tergeser peletakannya.
Atas dasar penegakan hukum tanpa memandang siapapun maka kemudian Sang Maha Ratu Shimahawan memerintahkan untuk memotong kaki dari sang Pangeran Pati. Betapa sedih dan malunya putranya sendiri atas tindakan ibunya, maka setelah dipotong kakinya sang putra mahkota memilih untuk moksa.
Tak lama setelah perisitiwa moksanya sang putra, langit Medang Kamulyan gelap mendadak, petir menyambar-nyambar dan siuasana sangat mencekam, yang menyadarkan Ratu Shimahawan atas kekhilafan tanpa dasar kebijaksanaan atas tindakannya kepada putra kandungnya sendiri. Ratu Shimahawan segera beranjak ke Sanggar Pamujan di mana telah menunggu Batara Narada yang turun langsung dari Kahyangan Jong Giri Saloka.
Marahlah Batara Narada kepada Ratu Shimahawan atas tindakan tersebut dan atas tindakan tersebut Ratu Shimahawan dan Kerajaan Medang Kamulyan harus surut. Menyadari kesalahan yang diperbuat, maka Ratu Shimahawan meminta waktu 3 hari kepada Batara Narada untuk membereskan semua permasalahan yang harus diselesaikan, dan itu disetujui oleh Batara Narada.
Maka kemudian Ratu Shimahawan memerintahkan seluruh penghuni Kraton dan penduduk Medang Kamulyan untuk mengungsi ke Kerajaan Gilingwesi, di mana sebelum itu wahyu keprabon memang sudah oncat dari Ratu Shimahawan ke keturunan Sri Badu-Ga yaitu Bambang Bremani yang beristrikan Dewi Srihunon
Setelah 3 hari proses pemidahan rakyat, maka kemudian dengan menggunakan ajian sepi angin …Putri Shima menuju ke Candi Selarong, sebuah candi di daerah Bantul yang dibangun 3 bulan sebelumnya. Di depan Candi Selarong di sebuah watu gilang, setelah mengganti semua busana kebesaran dengan jubah serba putih, duduk dengan sempurna di atas watu gilang …moksa-lah Putri Shima.
Bersamaan dengan moksa-nya beliau, meletuslah gunung Muria dan memenggal 1/3 puncaknya (jadi yang sekarang tinggal 2/3 dari ketinggian aslinya) dan menutupi bekas Kraton kediaman di Keling, hujan meteor di mana-mana dan meluapnya lautan yang segera menyurutkan Kerajaan Medang Kamulyan yang mengakibatkan sekarang Pulau Jawa terpisah dengan Pulau Karimun Jawa.
Medang Kamulyan di jaman Ratu Shimahawan inilah yang oleh peradaban barat disebut dengan peradaban Lemuria di masa sebelum Atlantis. Tetapi penamaan Lemuria adalah versi barat karena beberapa abad setelah itu …sebuah bangsa yang dulu menjadi tundukan dari Nuswantara mengaku-aku bahwa merekalah Medang Kamulyan …dan bangsa itu adalah Bangsa Moor …maka oleh peradaban barat dikenal dengan nama Leimooria.
Putri Prabu Kalin-Ga yang bernama Shimahawan ternyata yang mendapatkan wahyu keprabon, beliau juga mendapatkan wahyu Sang Hyang Prajna Paramitha, sehingga setelah Prabu Kalin-Ga lengser keprabon maka Shimahawan-lah yang menjadi Maha Ratu di Medang Kamulyan.
Sang Maha Ratu Shimahawan sangatlah cantik, pintar, berwibawa, sangat tegas dan sangat sakti …tak heran di jaman Ratu Shimahawan Kerajaan Medang Kamulyan dapat menyatukan Nuswantara di seluruh bumi ini menjadi wilayah kekuasaannya, maka Medang Kamulyan juga disebut sebagai Kerajaan yang Salaka Nagara (Salaka Nagara adalah seluruh jagad, penyebutan untuk Kerajaan yang secara absolut menguasai seluruh wilayah di bumi ini, selain Medang Kamulyan yang tercatat Salaka Nagara adalah Medang Gili/Gilingaya dan Medang Gana). Bahkan beberapa penamaan sansekerta yang masih banyak dapat kita temui di wilayah Rusia, Eropa Utara dan Amerika Utara terjadi pada masa kejayaan Ratu Shimahawan ini.
Kejujuran dan ketertiban adalah satu hal yang sangat ditegakkan pada masa itu, maka pada suatu masa …untuk menguji kejujuran rakyatnya, Ratu Shimahawan menaruh pundi-pundi emas di jalanan untuk melihat sebagaimana rakyat Medang Kamulyan akan ketergiuran pundi emas tanpa pemilik itu. Tak dinyana …pundi emas memang tidak hilang dan masih utuh, tapi bergeser letaknya dari penempatan semula.
Maka dikumpulkanlah seluruh Tumenggung dan punggawa Kerajaan, serta bertanyalah Ratu Shimahawan tentang siapakah yang menggeser pundi-pundi emas itu untuk dapat dicaritahu siapakah pelakunya. Pangeran Pati [putra mahkota] yang putra dari Ratu Shimahawan secara ksatria maju ke depan dan berkata …bahwa dialah yang secara tidak sengaja pada saat melewati jalan tersebut menginjak pundi-pundi emas itu sehingga letak pundi emas tergeser peletakannya.
Atas dasar penegakan hukum tanpa memandang siapapun maka kemudian Sang Maha Ratu Shimahawan memerintahkan untuk memotong kaki dari sang Pangeran Pati. Betapa sedih dan malunya putranya sendiri atas tindakan ibunya, maka setelah dipotong kakinya sang putra mahkota memilih untuk moksa.
Tak lama setelah perisitiwa moksanya sang putra, langit Medang Kamulyan gelap mendadak, petir menyambar-nyambar dan siuasana sangat mencekam, yang menyadarkan Ratu Shimahawan atas kekhilafan tanpa dasar kebijaksanaan atas tindakannya kepada putra kandungnya sendiri. Ratu Shimahawan segera beranjak ke Sanggar Pamujan di mana telah menunggu Batara Narada yang turun langsung dari Kahyangan Jong Giri Saloka.
Marahlah Batara Narada kepada Ratu Shimahawan atas tindakan tersebut dan atas tindakan tersebut Ratu Shimahawan dan Kerajaan Medang Kamulyan harus surut. Menyadari kesalahan yang diperbuat, maka Ratu Shimahawan meminta waktu 3 hari kepada Batara Narada untuk membereskan semua permasalahan yang harus diselesaikan, dan itu disetujui oleh Batara Narada.
Maka kemudian Ratu Shimahawan memerintahkan seluruh penghuni Kraton dan penduduk Medang Kamulyan untuk mengungsi ke Kerajaan Gilingwesi, di mana sebelum itu wahyu keprabon memang sudah oncat dari Ratu Shimahawan ke keturunan Sri Badu-Ga yaitu Bambang Bremani yang beristrikan Dewi Srihunon
Setelah 3 hari proses pemidahan rakyat, maka kemudian dengan menggunakan ajian sepi angin …Putri Shima menuju ke Candi Selarong, sebuah candi di daerah Bantul yang dibangun 3 bulan sebelumnya. Di depan Candi Selarong di sebuah watu gilang, setelah mengganti semua busana kebesaran dengan jubah serba putih, duduk dengan sempurna di atas watu gilang …moksa-lah Putri Shima.
Bersamaan dengan moksa-nya beliau, meletuslah gunung Muria dan memenggal 1/3 puncaknya (jadi yang sekarang tinggal 2/3 dari ketinggian aslinya) dan menutupi bekas Kraton kediaman di Keling, hujan meteor di mana-mana dan meluapnya lautan yang segera menyurutkan Kerajaan Medang Kamulyan yang mengakibatkan sekarang Pulau Jawa terpisah dengan Pulau Karimun Jawa.
Medang Kamulyan di jaman Ratu Shimahawan inilah yang oleh peradaban barat disebut dengan peradaban Lemuria di masa sebelum Atlantis. Tetapi penamaan Lemuria adalah versi barat karena beberapa abad setelah itu …sebuah bangsa yang dulu menjadi tundukan dari Nuswantara mengaku-aku bahwa merekalah Medang Kamulyan …dan bangsa itu adalah Bangsa Moor …maka oleh peradaban barat dikenal dengan nama Leimooria.
Rara Jonggrang
Alkisah pada zaman dulu kala, terbentuk satu buah kerajaan yang
begitu besar yang dengan nama Prambanan. Rakyat Prambanan begitu damai
serta makmur di bawah kepemimpinan raja yang dengan nama Prabu Baka.
Kerajaan-kerajaan kecil pada wilayah sekitar Prambanan pun begitu tunduk
serta menghormati kepemimpinan Prabu Baka.
Sementara itu di lain tempat, terdapat satu kerajaan yang tidak kalah besarnya sama kerajaan Prambanan, yaitu kerajaan Pengging. Kerajaan itu di kenal begitu arogan serta kepingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging memelihara satu orang ksatria sakti yang dengan nama Bondowoso.
Dia memiliki senjata sakti yang dengan nama Bandung, hingga Bondowoso di kenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain memiliki senjata yang sakti, Bandung Bondowoso pun memiliki bala tentara berupa Jin. Bala tentara itu yang digunakan Bandung Bondowoso buat membantunya untuk menyerang kerajaan lain selanjutnya memenuhi segala keinginannya.
Sampai Suatu saat, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging tersebut lalu memerintahkan Bandung Bondowoso buat menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang dalam bentuk Jin buat berkumpul, serta langsung berangkat menuju Kerajaan Prambanan.
Setibanya di Prambanan, mereka lantas menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka serta pasukannya kalang kabut, dikarenakan mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso sukses menduduki Kerajaan Prambanan, serta Prabu Baka tewas dikarenakan terkena senjata Bandung Bondowoso.
Kemenangan Bandung Bondowoso sama pasukannya disambut gembira sama Raja Pengging. Lalu Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso buat menempati Istana Prambanan serta mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.
Pada saat Bandung Bondowoso berada di Istana Kerajaan Prambanan ia melihat salah satu wanita yang begitu cantik jelita. Wanita itu ialah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Ketika melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tiada berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso lantas memanggil serta melamar Roro Jonggrang.
Rara Jonggrang bersedia dinikahi oleh Bandung Bondowoso, tetapi sebelumnya ia mengajukan dua syarat yang mustahil untuk dikabulkan. Syarat pertama adalah ia meminta dibuatkan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda, syarat kedua adalah sang putri minta Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Meskipun syarat-syarat itu teramat berat dan mustahil untuk dipenuhi.
Bandung Bondowoso menyanggupinya, untuk mewujudkan syarat itu, sang pangeran bersemadi dan memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Dengan bantuan makhluk halus ini sang pangeran berhasil menyelesaikan 999 candi.
Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia kemudian memerintahkan agar membakar jerami di sisi timur. Mengira bahwa pagi telah tiba dan sebentar lagi matahari akan terbit, para makhluk halus lari ketakutan bersembunyi masuk kembali ke dalam bumi.
Akibatnya hanya 999 candi yang berhasil dibangun dan Bandung Bondowoso telah gagal memenuhi syarat yang diajukan Rara Jonggrang. Ketika mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Rara Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Rara Jonggrang menjadi batu. Sang putri berubah menjadi arca yang terindah untuk menggenapi candi terakhir.
Dan situs Keraton Ratu Baka di dekat Prambanan adalah istana Prabu Baka, sedangkan 999 candi yang tidak rampung kini dikenal sebagai candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama di Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan tetap dikenang sebagai Lara Jonggrang yang berarti “gadis yang ramping”.
Ken DedesSementara itu di lain tempat, terdapat satu kerajaan yang tidak kalah besarnya sama kerajaan Prambanan, yaitu kerajaan Pengging. Kerajaan itu di kenal begitu arogan serta kepingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging memelihara satu orang ksatria sakti yang dengan nama Bondowoso.
Dia memiliki senjata sakti yang dengan nama Bandung, hingga Bondowoso di kenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain memiliki senjata yang sakti, Bandung Bondowoso pun memiliki bala tentara berupa Jin. Bala tentara itu yang digunakan Bandung Bondowoso buat membantunya untuk menyerang kerajaan lain selanjutnya memenuhi segala keinginannya.
Sampai Suatu saat, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging tersebut lalu memerintahkan Bandung Bondowoso buat menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang dalam bentuk Jin buat berkumpul, serta langsung berangkat menuju Kerajaan Prambanan.
Setibanya di Prambanan, mereka lantas menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka serta pasukannya kalang kabut, dikarenakan mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso sukses menduduki Kerajaan Prambanan, serta Prabu Baka tewas dikarenakan terkena senjata Bandung Bondowoso.
Kemenangan Bandung Bondowoso sama pasukannya disambut gembira sama Raja Pengging. Lalu Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso buat menempati Istana Prambanan serta mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.
Pada saat Bandung Bondowoso berada di Istana Kerajaan Prambanan ia melihat salah satu wanita yang begitu cantik jelita. Wanita itu ialah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Ketika melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tiada berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso lantas memanggil serta melamar Roro Jonggrang.
Rara Jonggrang bersedia dinikahi oleh Bandung Bondowoso, tetapi sebelumnya ia mengajukan dua syarat yang mustahil untuk dikabulkan. Syarat pertama adalah ia meminta dibuatkan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda, syarat kedua adalah sang putri minta Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Meskipun syarat-syarat itu teramat berat dan mustahil untuk dipenuhi.
Bandung Bondowoso menyanggupinya, untuk mewujudkan syarat itu, sang pangeran bersemadi dan memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Dengan bantuan makhluk halus ini sang pangeran berhasil menyelesaikan 999 candi.
Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia kemudian memerintahkan agar membakar jerami di sisi timur. Mengira bahwa pagi telah tiba dan sebentar lagi matahari akan terbit, para makhluk halus lari ketakutan bersembunyi masuk kembali ke dalam bumi.
Akibatnya hanya 999 candi yang berhasil dibangun dan Bandung Bondowoso telah gagal memenuhi syarat yang diajukan Rara Jonggrang. Ketika mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Rara Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Rara Jonggrang menjadi batu. Sang putri berubah menjadi arca yang terindah untuk menggenapi candi terakhir.
Dan situs Keraton Ratu Baka di dekat Prambanan adalah istana Prabu Baka, sedangkan 999 candi yang tidak rampung kini dikenal sebagai candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama di Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan tetap dikenang sebagai Lara Jonggrang yang berarti “gadis yang ramping”.
Tersebutlah suatu hari Ken Dedes, permaisuri Akuwu Tunggul Ametung,
pulang dari satu perjalanan. Para abdi menyambut dengan sukacita
kedatangan sang permaisuri yang begitu mereka cintai. Beberapa abdi
berjaga di sekitar halaman istana, sementara sebagian dengan hormat
membuka pintu kereta. Seorang abdi dengan wajah ceria dan dengan penuh
kesungguhan membantu sang Putri nan jelita menapaki tangga kereta. Wajah
sang Putri begitu jelita dan dihiasi senyum yang anggun, dan itu
membuat suasana menjadi begitu indah. Para abdi sangat gembira berada di
sekitar permaisurinya. Namun tiba-tiba datanglah angin yang cukup
besar. Tidak ada yang mengerti mengapa dalam keadaan cuaca yang begitu
indah bisa ada angin yang besar. Dan lebih mengejutkan lagi, angin itu
menyingkapkan kain sang Permaisuri, sehingga betisnya yang sangat indah
terlihat dalam beberapa waktu. Menyadari keadaan itu Ken Dedes dengan
cepat membetulkan posisi kainnya,sedang beberapa abdi laki-laki yang
sempat melihatkain yang tersingkap itu dengan cepat menundukkan kepala
mereka. Mereka sempat melihat betis yang begitu indah, dan hati
berdebar-debar melihat hal itu.
Namun mereka juga cepat menyadari bahwa itu adalah betis junjunga mereka. Junjungan yang memiliki kekuasaan atas hidup mereka dan junjungan yang mereka hormati. Karena itu para abdi cepat-cepat menundukkan kepala mereka dengan perasaan campur aduk. Mereka berharap Sang Permaisuri tidak tahu bahwa mereka sempat melihat kejadian luar biasa yang sejenak itu. Sekalipun mereka tetap mengakui betapa indahnya betis sang Permaisuri.
Akan tetapi di antara para abdi yang menyambut itu terdapat seorang yang melihat apa yang tidak dilihat para abdi yang lain. Sementara para abdi yang sempat melihat betis itu, melihat keindahan seorang wanita, tetapi disertai dengan takut dan hormat, abdi ini melihat sesuatu yang luar biasa pada diri wanita agung itu. Dia melihat betis itu bercahaya. Dia sempat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, karena itu dengan sedikit tertunduk dia memberanikan diri tetap melihat betis itu. Dan benar betis itu bercahaya. Wanita cantik, yang baik hati, yang juga dipujanya itu memiliki cahaya di betisnya.
Hati Abdi itu berdebar-debar. Dia sangat heran dengan penglihatan itu. Dan dia heran juga, nampaknya hanya dia yang melihat cahaya itu. Siapakah gerangan wanita yang berasal dari desa Panawijen ini sebenarnya. Abdi tersebut sangat penarasan. Hatinya gelisah, ingin tahu rahasia apa yang dimiliki junjungannya. Karena itu dia ingin tugas hari itu cepat selesai supaya ia bisa segera menemui gurunya untuk menanyakan kejadian yang aneh itu.
Ketika waktu tugas hari itu selesai, dia bersegera menaiki kudanya untuk menemui gurunya. Dan begitu berhadapan dengan sang guru, dia menceritakan kejadian yang dialaminya pada hari itu . “ Bapa Lohgawe, siapakah wanita ini sebenarnya ? “ demikian tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Brahmana Lohgawe menjawab “ Anakku Arok, wanita yang memiliki rahasia seperti itu disebut : Nawiswari. Dia adalah seorang wanita utama. Jika seorang laki-laki memperistri wanita seperti itu, maka dia akan menjadi maharaja “
Mendengar penjelasan itu Ken Arok tercenung. Berbagai hal berkecamuk dalam batinnya. Terbayang wajah cantik jelita Ken Dedes. Terbayang keagungan sikapnya. Namun terbayang pula Sang Akuwu yang begitu mencintai istrinya. Akuwu yang sangat sakti itu telah berusaha menyatakan cintanya dengan memenuhi segala hal untuk menyenangkan permaisurinya.
Akan tetapi Arok tahu persis pada awalnya Ken Dedes sama sekali tidak mencintaiSang Akuwu. Ken Dedes bisa menjalani sebagai istri Akuwu Tunggul Ametung setelah menata hati sehabis sang Akuwu menculiknya dari pertapaan Panawijen. Menjalani sebagai isteri jauh lebih baik daripada terluka dan tidak bisa mengatasi luka itu. Semua keadaan Ken Dedes terbayang dalam pikiran Arok. Dan bayangan yang beraneka masam itu kemudian memberinya satu dorongan yang dulu mungkin hanya samar-samar dia harapkan.
Arok terdiam dan dari dalam hatinya timbul satu suara . “ Bagaimana kalau aku menjadi suami Ken Dedes ? Aku bisa menjadi maharaja dan aku lebih bisa membahagiakan Ken Dedes daripada Akuwu Tunggul Ametung “
Suara dari dalam yang mula-mula lembut itu ternyata makin kuat. Dan Arok akhirnya tidak tahan mendiamkan suara dari dalam hatinya . Karena itu dengan persetujuan Sang Brahmana Arok bertekad untuk menjadikan Ken Dedes istrinya.
Ken Dedes, wanita dari Desa Panawijen dan itulah yang menjadi awal dari kisah besar di tanah Jawa selama 700 tahun dan mungkin masih akan berlanjut.
Seperti telah diketahui akhirnya Ken Arok benar-benar berhasil menikah dengan Ken Dedes.
Dan pernikahan itu benar-benar membuat Ken Arok menjadi maharaja. Namun dengan demikian menjadikan Ken Dedes ibu dari raja-raja tanah Jawa.
Begitu menikah dengan Ken Dedes, Arok memerintah sebagai Akuwu di Tumapel. Dan Tumapel menjadi wilayah yang sangat makmur di bawah pemerintahan Ken Arok. Pada saat yang sama, Kerajaan Kediri sedang menghadapi masalah. Para Brahmana bermusuhan dengan Raja Dandang Gendis. Karena itu para Brahmana berlari ke Tumapel. Keadaan ini membuat Ken Arok melakukan perlawanan kepada Raja Dandang Gendis didukung oleh rakyat Tumapel yang mencintainya dan para Brahmana. Dan perlawanan itu berhasil.
Setelah menaklukkan Raja Kediri , Dandang Gendis, Ken Arok naik tahta sebagai maharaja dengan gelar Rajasa sang Amurwabumi. Dan ini menandai berdirinya dinasti baru, yaitu Dinasti Arok- Dedes.Dinasti ini tetap bertahan sejak tahun 1222 hingga hari ini. Sekalipun kerajaan telah berganti-ganti , namun semua tetap merupakan keturunan Ken Dedes.
Kerajaan Singasari yang berdiri antara tahun 1222 hingga tahun 1292 diperintah oleh keturunan Ken Dedes, kecuali pada masa singkat, yaitu pada masa Tohjaya. Anusapati, Ranggawuni, dan Kertanegara adalah keturunan Dedes dengan Tunggul Ametung.
Ketika Singasari digantikan oleh Majapahit , pemerintahan tetap dipegang oleh keturunan Ken Dedes. Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan Ken Dedes dengan Ken Arok. Dengan demikian selama masa pemerintahan Majapahit yang berlangsung hampir 200 tahun, keturunan Ken Dedes tetap memerintah di tanah Jawa.
Majapahit dikalahkan oleh Demak, dan kerajaan berganti. Pemerintah dipegang oleh Raden Patah,kemudian dilanjutkan Dipati Unus, serta diakhiri oleh Sultan Trenggana adalah keturunan Ken Dedes. Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya, dan tentu dalam garis keturunan Raden Wijaya.
Demikian pula ketika Kerajaan Demak digantikan oleh Kerajaan Pajang yang diperintah Sultan Hadiwijaya, keturunan Dedes tetap memerintah. Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang adalah keturunan Raja Majapahit sebagaimana Raden Patah.
Mungkin dengan runtuhnya Pajang digantikan oleh Mataram seakan-akan keturunan Ken Dedes tidak lagi memerintah di tanah Jawa. Sebab Sutawijaya, adalah anak dari Ki Gede pemanahan , yang bukan keturunan Raja. Akan tetapi ternyata Ki Ageng Sela, kakek buyut dari Sutawijaya adalah keturunan Bondan Kejawan yang adalah putra dari Prabu Brawijaya juga. Dengan demikiah pada masa Mataram tetaplah keturunan Ken Dedes yang memerintah di tanah Jawa.
Keturunan Ken Dedes tetap memerintah hingga kini, karena Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Jogjakarta sama-sama keturunan Panembahan Senapati. Dan dalam keadaan posisi apapun kasunanan maupun kasultanan pada masa , ke 2 kerajaan itu tetap kerajaan karena tetap ada kenaikan tahta dan peringatan tahta serta ada masyarakat yang mengakuinya sebagai raja.
Demikianlah Ken Dedes, wanita dari Desa Panawijen dan dengan betis indah yang bercahaya itu, bisa dikatakan sebagai wanita terbesar di tanah Jawa.
Namun mereka juga cepat menyadari bahwa itu adalah betis junjunga mereka. Junjungan yang memiliki kekuasaan atas hidup mereka dan junjungan yang mereka hormati. Karena itu para abdi cepat-cepat menundukkan kepala mereka dengan perasaan campur aduk. Mereka berharap Sang Permaisuri tidak tahu bahwa mereka sempat melihat kejadian luar biasa yang sejenak itu. Sekalipun mereka tetap mengakui betapa indahnya betis sang Permaisuri.
Akan tetapi di antara para abdi yang menyambut itu terdapat seorang yang melihat apa yang tidak dilihat para abdi yang lain. Sementara para abdi yang sempat melihat betis itu, melihat keindahan seorang wanita, tetapi disertai dengan takut dan hormat, abdi ini melihat sesuatu yang luar biasa pada diri wanita agung itu. Dia melihat betis itu bercahaya. Dia sempat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, karena itu dengan sedikit tertunduk dia memberanikan diri tetap melihat betis itu. Dan benar betis itu bercahaya. Wanita cantik, yang baik hati, yang juga dipujanya itu memiliki cahaya di betisnya.
Hati Abdi itu berdebar-debar. Dia sangat heran dengan penglihatan itu. Dan dia heran juga, nampaknya hanya dia yang melihat cahaya itu. Siapakah gerangan wanita yang berasal dari desa Panawijen ini sebenarnya. Abdi tersebut sangat penarasan. Hatinya gelisah, ingin tahu rahasia apa yang dimiliki junjungannya. Karena itu dia ingin tugas hari itu cepat selesai supaya ia bisa segera menemui gurunya untuk menanyakan kejadian yang aneh itu.
Ketika waktu tugas hari itu selesai, dia bersegera menaiki kudanya untuk menemui gurunya. Dan begitu berhadapan dengan sang guru, dia menceritakan kejadian yang dialaminya pada hari itu . “ Bapa Lohgawe, siapakah wanita ini sebenarnya ? “ demikian tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Brahmana Lohgawe menjawab “ Anakku Arok, wanita yang memiliki rahasia seperti itu disebut : Nawiswari. Dia adalah seorang wanita utama. Jika seorang laki-laki memperistri wanita seperti itu, maka dia akan menjadi maharaja “
Mendengar penjelasan itu Ken Arok tercenung. Berbagai hal berkecamuk dalam batinnya. Terbayang wajah cantik jelita Ken Dedes. Terbayang keagungan sikapnya. Namun terbayang pula Sang Akuwu yang begitu mencintai istrinya. Akuwu yang sangat sakti itu telah berusaha menyatakan cintanya dengan memenuhi segala hal untuk menyenangkan permaisurinya.
Akan tetapi Arok tahu persis pada awalnya Ken Dedes sama sekali tidak mencintaiSang Akuwu. Ken Dedes bisa menjalani sebagai istri Akuwu Tunggul Ametung setelah menata hati sehabis sang Akuwu menculiknya dari pertapaan Panawijen. Menjalani sebagai isteri jauh lebih baik daripada terluka dan tidak bisa mengatasi luka itu. Semua keadaan Ken Dedes terbayang dalam pikiran Arok. Dan bayangan yang beraneka masam itu kemudian memberinya satu dorongan yang dulu mungkin hanya samar-samar dia harapkan.
Arok terdiam dan dari dalam hatinya timbul satu suara . “ Bagaimana kalau aku menjadi suami Ken Dedes ? Aku bisa menjadi maharaja dan aku lebih bisa membahagiakan Ken Dedes daripada Akuwu Tunggul Ametung “
Suara dari dalam yang mula-mula lembut itu ternyata makin kuat. Dan Arok akhirnya tidak tahan mendiamkan suara dari dalam hatinya . Karena itu dengan persetujuan Sang Brahmana Arok bertekad untuk menjadikan Ken Dedes istrinya.
Ken Dedes, wanita dari Desa Panawijen dan itulah yang menjadi awal dari kisah besar di tanah Jawa selama 700 tahun dan mungkin masih akan berlanjut.
Seperti telah diketahui akhirnya Ken Arok benar-benar berhasil menikah dengan Ken Dedes.
Dan pernikahan itu benar-benar membuat Ken Arok menjadi maharaja. Namun dengan demikian menjadikan Ken Dedes ibu dari raja-raja tanah Jawa.
Begitu menikah dengan Ken Dedes, Arok memerintah sebagai Akuwu di Tumapel. Dan Tumapel menjadi wilayah yang sangat makmur di bawah pemerintahan Ken Arok. Pada saat yang sama, Kerajaan Kediri sedang menghadapi masalah. Para Brahmana bermusuhan dengan Raja Dandang Gendis. Karena itu para Brahmana berlari ke Tumapel. Keadaan ini membuat Ken Arok melakukan perlawanan kepada Raja Dandang Gendis didukung oleh rakyat Tumapel yang mencintainya dan para Brahmana. Dan perlawanan itu berhasil.
Setelah menaklukkan Raja Kediri , Dandang Gendis, Ken Arok naik tahta sebagai maharaja dengan gelar Rajasa sang Amurwabumi. Dan ini menandai berdirinya dinasti baru, yaitu Dinasti Arok- Dedes.Dinasti ini tetap bertahan sejak tahun 1222 hingga hari ini. Sekalipun kerajaan telah berganti-ganti , namun semua tetap merupakan keturunan Ken Dedes.
Kerajaan Singasari yang berdiri antara tahun 1222 hingga tahun 1292 diperintah oleh keturunan Ken Dedes, kecuali pada masa singkat, yaitu pada masa Tohjaya. Anusapati, Ranggawuni, dan Kertanegara adalah keturunan Dedes dengan Tunggul Ametung.
Ketika Singasari digantikan oleh Majapahit , pemerintahan tetap dipegang oleh keturunan Ken Dedes. Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan Ken Dedes dengan Ken Arok. Dengan demikian selama masa pemerintahan Majapahit yang berlangsung hampir 200 tahun, keturunan Ken Dedes tetap memerintah di tanah Jawa.
Majapahit dikalahkan oleh Demak, dan kerajaan berganti. Pemerintah dipegang oleh Raden Patah,kemudian dilanjutkan Dipati Unus, serta diakhiri oleh Sultan Trenggana adalah keturunan Ken Dedes. Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya, dan tentu dalam garis keturunan Raden Wijaya.
Demikian pula ketika Kerajaan Demak digantikan oleh Kerajaan Pajang yang diperintah Sultan Hadiwijaya, keturunan Dedes tetap memerintah. Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang adalah keturunan Raja Majapahit sebagaimana Raden Patah.
Mungkin dengan runtuhnya Pajang digantikan oleh Mataram seakan-akan keturunan Ken Dedes tidak lagi memerintah di tanah Jawa. Sebab Sutawijaya, adalah anak dari Ki Gede pemanahan , yang bukan keturunan Raja. Akan tetapi ternyata Ki Ageng Sela, kakek buyut dari Sutawijaya adalah keturunan Bondan Kejawan yang adalah putra dari Prabu Brawijaya juga. Dengan demikiah pada masa Mataram tetaplah keturunan Ken Dedes yang memerintah di tanah Jawa.
Keturunan Ken Dedes tetap memerintah hingga kini, karena Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Jogjakarta sama-sama keturunan Panembahan Senapati. Dan dalam keadaan posisi apapun kasunanan maupun kasultanan pada masa , ke 2 kerajaan itu tetap kerajaan karena tetap ada kenaikan tahta dan peringatan tahta serta ada masyarakat yang mengakuinya sebagai raja.
Demikianlah Ken Dedes, wanita dari Desa Panawijen dan dengan betis indah yang bercahaya itu, bisa dikatakan sebagai wanita terbesar di tanah Jawa.
Tribuana Tungga Dewi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang
memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti singasari (1351) diketahui
gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwardhani.
Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya Gayatri tahun 1329
menggantikan jayanegara yang meninggal tahun 1328. Nama asli Tribhuwana
Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia
merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri.
Menurut Negarakertagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng. didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 ia mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Krajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Bhre Kahuripan meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Menurut Negarakertagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng. didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 ia mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Krajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Bhre Kahuripan meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Roro Mendut
Roro Mendut adalah perempuan hebat di jamannya, karena berpendirian
teguh nggak mau tunduk begitu saja dijajah oleh laki-laki, apalagi yang
punya kuasa seperti Tumenggung Wiraguna yang gampang kesengsem sama
perempuan cantik dan ingin menjadikannya selir…
Pada saat itu Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo mengutus panglima perang dan ahli strategi Tumenggung Wiroguno. Untuk menaklukkan kabupaten kecil di pantai utara Jawa, Pati. Maka peperangan yang tidak seimbang tersebut terlalu mudah ditebak, dan Pati pun takluk. Sebagai tanda takluknya Kadipaten Pati terhadap Keraton Mataram, Adipati Pati menyerahkan upeti harta benda kepada keraton Mataram, berikut juga menyerahkan puteri angkatnya yang cantik jelita, bernama Roro Mendut. Roro Mendut adalah seorang gadis kelahiran Desa Trembagi, Pati, yang sudah sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati ini.
Pada saat itu Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo mengutus panglima perang dan ahli strategi Tumenggung Wiroguno. Untuk menaklukkan kabupaten kecil di pantai utara Jawa, Pati. Maka peperangan yang tidak seimbang tersebut terlalu mudah ditebak, dan Pati pun takluk. Sebagai tanda takluknya Kadipaten Pati terhadap Keraton Mataram, Adipati Pati menyerahkan upeti harta benda kepada keraton Mataram, berikut juga menyerahkan puteri angkatnya yang cantik jelita, bernama Roro Mendut. Roro Mendut adalah seorang gadis kelahiran Desa Trembagi, Pati, yang sudah sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati ini.
Dan sebagai bukti
atas penaklukan tersebut Tumenggung Wiroguno membawa serta sejumlah
rampasan perang, dan termasuk gadis desa yang cantik: Roro Mendut. Maka
dibawalah perempuan malang tersebut untuk dijadikan istri yang ke sekian
oleh Sang Tumenggung.
Namun hasrat Sang Tumenggung bertepuk sebelah tangan, Roro Mendut tidak mau dipersunting oleh Wiroguno, lantaran Roro Mendut sebenarnya telah memiliki kekasih bernama Pronocitro, pemuda tampan dari daerah asalnya, Pati. Sebagai seorang priyayi, sudah tentu Wiroguno ingin agar terlihat bijaksana, dan meminta agar Roro Mendut secara rela mau diperistri. Tapi Roro Mendut tetap menolak. Barangkali demi cintanya pada seorang pemuda desa: Pronocitro. Barangkali demi harga dirinya, sebab dia juga punya hak unntuk menolak.
Merasa ditolak, Wiroguno mengajukan syarat yang mustahil dipenuhi oleh Roro Mendut. Dia cuma seorang gadis miskin, tentu tidak akan mampu bila harus membayar sekian jumlah uang. Namun Roro Mendut tidak menyerah. Demi mendapat uang untuk kebebasannya dia berjualan rokok di pasar. Dengan memanfaatkan pesona ragawinya, dia segera terkenal di antara para perokok mata keranjang. Roro Mendut menjual rokok yang telah dia hisap sebelumnya, para lelaki tersebut tertarik dengan bekas bibirnya.
Gadis cantik ini hidup dengan cara berjualan rokok lintingan, yaitu rokok yang dibuat secara tradisional dari gulungan kertas yang diisi dengan tembakau. Kala itu, rokok yang dipasarkan Roro Mendut sangat laris manis di kalangan prajurit Mataram, lantaran kertas rokok-rokok tersebut dalam proses akhir penggulungannya, selalu direkatkan dengan cara dijilat terlebih dahulu menggunakan lidah Roro Mendut yang sangat cantik dan menggoda tersebut.
Terlebih lagi, kepada setiap pembelinya, Roro Mendut yang pertama kali menghidupkan rokok tersebut. Artinya, Roro Mendut lah yang menyulutkan api, sekaligus yang pertama menghisapkan rokok tersebut untuk sang pembeli. Rokok bekas sedotan gadis muda ini konon akan lebih manis dan nikmat rasanya ketika dihisap.
Diam-diam, Pronocitro pun menyusul Roro Mendut. Berangkatlah pemuda ini dari Pati ke tanah Mataram. Di Yogyakarta alias Mataram, Pronocitro ini menyamar menjadi pekatik atau yang dalam bahasa Jawa berarti pegawai perawat kuda-kuda prajurit. Cukup lama Roro Mendut menjalin hubungan cinta sembunyi-sembunyi dengan Pronocitro melalui cara penyemaran yang demikian. Namun akhirnya, perjalanan cinta kedua muda-mudi inipun terendus juga oleh Wiroguno.
Tumenggung Wiroguno yang dibakar api cemburu murka lalu menghunuskan keris ke pemuda desa tersebut, yang jelas bukan lawan sepadan baginya. Lalu Roro Mendut juga menyusul di ujung keris yang sama. Kelak, orang-orang akan mengenang sebagai kisah kasih yang abadi sepanjang masa.
Nyi Ageng Serang
Beliau bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi
(Serang,Purwodadi, Jawa Tengah, 1752- Yogyakarta, 1828) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja
yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di
Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya
wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang
adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan
seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar
Dewantara. Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan
nasional yang hampir terlupakan, mungkin karena namanya tak
sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien tapi beliau sangat berjasa
bagi negeri ini.Warga Kulon
Progo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa patung
beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.
Martha Tiahahu
Nama lengkapnya Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa laut, Maluku 4
januari 1800 adalah seorang gadis dari Desa Abubu. pada waktu
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya
adalah kapitan Paulaus Tiahahu yang juga pembantu Thomas Matulessy
dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke pulau Jawa
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu gugur dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja’ Dhien), dari Lampadang Aceh,
lahir pada tahun 1848 adalah pahlawan nasional yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak
menghancurkan Belanda.
Teuku Umar salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. ia bersama suaminya bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 februari 1899 sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba, Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 november 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kartini
Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 dikenal sebagai pelopor pendidikan perempuan pribumi.
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya… dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Baru pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit. Buku kumpulan surat dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Namun hasrat Sang Tumenggung bertepuk sebelah tangan, Roro Mendut tidak mau dipersunting oleh Wiroguno, lantaran Roro Mendut sebenarnya telah memiliki kekasih bernama Pronocitro, pemuda tampan dari daerah asalnya, Pati. Sebagai seorang priyayi, sudah tentu Wiroguno ingin agar terlihat bijaksana, dan meminta agar Roro Mendut secara rela mau diperistri. Tapi Roro Mendut tetap menolak. Barangkali demi cintanya pada seorang pemuda desa: Pronocitro. Barangkali demi harga dirinya, sebab dia juga punya hak unntuk menolak.
Merasa ditolak, Wiroguno mengajukan syarat yang mustahil dipenuhi oleh Roro Mendut. Dia cuma seorang gadis miskin, tentu tidak akan mampu bila harus membayar sekian jumlah uang. Namun Roro Mendut tidak menyerah. Demi mendapat uang untuk kebebasannya dia berjualan rokok di pasar. Dengan memanfaatkan pesona ragawinya, dia segera terkenal di antara para perokok mata keranjang. Roro Mendut menjual rokok yang telah dia hisap sebelumnya, para lelaki tersebut tertarik dengan bekas bibirnya.
Gadis cantik ini hidup dengan cara berjualan rokok lintingan, yaitu rokok yang dibuat secara tradisional dari gulungan kertas yang diisi dengan tembakau. Kala itu, rokok yang dipasarkan Roro Mendut sangat laris manis di kalangan prajurit Mataram, lantaran kertas rokok-rokok tersebut dalam proses akhir penggulungannya, selalu direkatkan dengan cara dijilat terlebih dahulu menggunakan lidah Roro Mendut yang sangat cantik dan menggoda tersebut.
Terlebih lagi, kepada setiap pembelinya, Roro Mendut yang pertama kali menghidupkan rokok tersebut. Artinya, Roro Mendut lah yang menyulutkan api, sekaligus yang pertama menghisapkan rokok tersebut untuk sang pembeli. Rokok bekas sedotan gadis muda ini konon akan lebih manis dan nikmat rasanya ketika dihisap.
Diam-diam, Pronocitro pun menyusul Roro Mendut. Berangkatlah pemuda ini dari Pati ke tanah Mataram. Di Yogyakarta alias Mataram, Pronocitro ini menyamar menjadi pekatik atau yang dalam bahasa Jawa berarti pegawai perawat kuda-kuda prajurit. Cukup lama Roro Mendut menjalin hubungan cinta sembunyi-sembunyi dengan Pronocitro melalui cara penyemaran yang demikian. Namun akhirnya, perjalanan cinta kedua muda-mudi inipun terendus juga oleh Wiroguno.
Tumenggung Wiroguno yang dibakar api cemburu murka lalu menghunuskan keris ke pemuda desa tersebut, yang jelas bukan lawan sepadan baginya. Lalu Roro Mendut juga menyusul di ujung keris yang sama. Kelak, orang-orang akan mengenang sebagai kisah kasih yang abadi sepanjang masa.
Nyi Ageng Serang
Martha Tiahahu
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke pulau Jawa
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu gugur dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Cut Nyak Dien
Teuku Umar salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. ia bersama suaminya bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 februari 1899 sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba, Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 november 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kartini
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya… dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Baru pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit. Buku kumpulan surat dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
***